Minggu, 08 Juli 2012

Ketika Olga Tersandung Lawakannya

Olga Syahputra memang pandai mengocok perut penonton. Banyolan yang segar dan spontan membuat pria 29 tahun itu laris manis di televisi nasional. Tapi tampaknya Olga tak pandai mengendalikan diri saat melawak. Demi membuat pemirsa tertawa, artis yang memulai kiprah dengan menjadi figuran itu kadang menerjang norma kesopanan.
Akibatnya, pria yang khas dengan tingkah kemayunya itu tidak jarang menuai protes dari banyak kalangan. Candaannya dianggap menghina, melecehkan bahkan mencela orang lain. Bahkan 90% kontroversinya disebabkan gaya humornya yang kasar.
Seperti tak jera, beberapa waktu yang lalu Olga kembali menerima kritik. Sikapnya pada tayangan Pesbukers ANTV dinilai melecehkan salam. Dalam sebuah segmen, Olga menyamakan kalimat salam dengan kebiasaan pengemis, tentu saja untuk memancing tawa.
Sebelumnya, artis jebolan sanggar Ananda itu juga pernah mendapat protes dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pendamping Korban Perkosaan. Kata-katanya dalam sebuah acara dinilai melecehkan para korban pemerkosaan.
Tapi tampaknya, rating masih menjadi raja. Lawakan Olga masih diwadahi dalam beberapa acara televisi demi mempertahankan ratingnya untuk selalu di atas. Bahkan beberapa menilai Olga hanya korban eksploitasi para pengelola program siaran.
Itu adalah cerminan dunia hiburan Indonesia terutama pada televisi. Ratting tinggi justru dimiliki oleh acara dengan obrolan-obrolan yang kasar dan guyonan yang melampaui batas. Di sisi lain, pemirsa membutuhkan acara yang tak sekadar tontonan tapi bisa jadi tuntunan.  Meskipun begitu seharusnya Olga tahu bahwa melawak tak perlu harus mencela orang lain. Kecerdasan pelawak sangat berperan dalam menciptakan kesegaran guyonan. Jika melawak cerdas, maka tak perlu melakukan blunder yang bikin orang lain gerah.

Sanksi KPI

Keresahan masyarakat akan tingkah Olga tak lantas membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berdiam diri. Surat teguran sudah dilayangkan kepada lembaga penyiaran yang menayangkan lawakan Olga yang kontroversial itu. Bahkan sejak Rabu (5/6), KPI sudah mengirimkan surat keputusan penghentian program Pesbukers kepada managemen ANTV.
Olga dinilai melanggar Pasal 36 ayat 6 Undang-Undang RI No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Di situ jelas dikatakan isi siaran dilarang memperolok, merendahkan, melecehkan, dan mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Dalam Pedoman Perilaku dan Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) 2012 dikatakan bahwa program siaran yang terbukti secara sah melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi administratif. Sanksi itu meliputi teguran tertulis, penghentian sementara, pembatasan durasi, denda adminstratif, pembekuan kegiatan siaran, tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran hingga pencabutan izin siaran.
Sayangnya, kasus Olga menjadi bola liar manakala para fanatik artis yang mempunyai satu juta lebih follower itu bereakasi keras atas keputusan KPI. Fans Olga mengancam melakukan pembunuhan terhadap anggota KPI.
”Ancaman itu datang setelah kami mengeluarkan peringatan terhadap program ëíPesbukersíí . Sorenya saya dapat telepon yang mengancam, melalui akun Twitter juga,” cerita Ezki Suyanto, salah satu anggota KPI.
Padahal KPI yang telah melakukan tugasnya patut dihargai dan didukung oleh semua pihak. Setidaknya dari peristiwa yang dialami Olga dapat memberikan pelajaran bagi siapa saja bahwa dalam menghibur orang pun harus taat dengan norma.
Pelanggaran norma dalam acara televisi atau radio memang menjadi jangkauan pengawasan KPI. Tapi komisi ini tidak bekerja sendiri. Dalam Sosialisasi P3SPS 2012 di Hotel Pandanaran, Selasa (4/6) Ketua KPID Jawa Tengah, Budi Sudaryanto mengajak seluruh masyarakat untuk turut memantau penyiaran di Indonesia.
Timbulnya kesadaran bersama dari seluruh lapisan masyarakat terhadap program siaran yang melenceng akan membantu tugas KPI memantau acara yang tayang di masyarakat. Aduan dapat masuk ke KPI melalui SMS, telepon, dan email.
Salah satu sikap tegas KPI terlihat pada pencabutan izin acara Empat Mata yang tayang di stasiun Trans 7 tahun 2008 silam. Acara yang waktu itu juga meraih ratting tinggi terpaksa harus mandeg karena salah satu episodenya menayangkan adegan yang tidak pantas.
Lantas, acara serupa muncul lagi dengan nama Bukan Empat Mata dengan konsep, pembawa acara dan kemasan yang sama. Beberapa pihak mempertanyakan bagaimana bisa acara yang sudah dicekal bisa disiarkan kembali hanya dengan mengganti nama.
Budi Sudaryanto menjelaskan bahwa waktu itu peraturan tentang ini belum dibahas secara detail dalam P3SPS. ”Tapi P3SPS yang terbaru yaitu tahun 2012, sudah mengatur tentang itu,” katanya. Artinya, pencekalan tidak terbatas pada nama acara tapi juga menyentuh konsep dan isi acara.
KPI sudah menjalankan tugasnya. Maka sudah sewajarnya jika kita mengapresiasinya. Tapi kembali lagi, masyarakat juga turut berkontribusi dalam melakukan pemantauan terhadap siaran televisi dan radio. Para artis pun hendaknya cerdas dalam melempar lawakan. Harusnya mereka mampu membuat orang tertawa tanpa menjadikan orang lain sebagai bahan tertawaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar