Olga Syahputra memang pandai mengocok perut penonton. Banyolan yang
segar dan spontan membuat pria 29 tahun itu laris manis di televisi
nasional. Tapi tampaknya Olga tak pandai mengendalikan diri saat
melawak. Demi membuat pemirsa tertawa, artis yang memulai kiprah dengan
menjadi figuran itu kadang menerjang norma kesopanan.
Akibatnya, pria yang khas dengan tingkah kemayunya itu tidak jarang
menuai protes dari banyak kalangan. Candaannya dianggap menghina,
melecehkan bahkan mencela orang lain. Bahkan 90% kontroversinya
disebabkan gaya humornya yang kasar.
Seperti tak jera, beberapa waktu yang lalu Olga kembali menerima
kritik. Sikapnya pada tayangan Pesbukers ANTV dinilai melecehkan salam.
Dalam sebuah segmen, Olga menyamakan kalimat salam dengan kebiasaan
pengemis, tentu saja untuk memancing tawa.
Sebelumnya, artis jebolan sanggar Ananda itu juga pernah mendapat
protes dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Pendamping Korban
Perkosaan. Kata-katanya dalam sebuah acara dinilai melecehkan para
korban pemerkosaan.
Tapi tampaknya, rating masih menjadi raja. Lawakan Olga masih
diwadahi dalam beberapa acara televisi demi mempertahankan ratingnya
untuk selalu di atas. Bahkan beberapa menilai Olga hanya korban
eksploitasi para pengelola program siaran.
Itu adalah cerminan dunia hiburan Indonesia terutama pada televisi.
Ratting tinggi justru dimiliki oleh acara dengan obrolan-obrolan yang
kasar dan guyonan yang melampaui batas. Di sisi lain, pemirsa
membutuhkan acara yang tak sekadar tontonan tapi bisa jadi tuntunan.
Meskipun begitu seharusnya Olga tahu bahwa melawak tak perlu harus
mencela orang lain. Kecerdasan pelawak sangat berperan dalam menciptakan
kesegaran guyonan. Jika melawak cerdas, maka tak perlu melakukan
blunder yang bikin orang lain gerah.
Sanksi KPI
Keresahan masyarakat akan tingkah Olga tak lantas membuat Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) berdiam diri. Surat teguran sudah dilayangkan
kepada lembaga penyiaran yang menayangkan lawakan Olga yang
kontroversial itu. Bahkan sejak Rabu (5/6), KPI sudah mengirimkan surat
keputusan penghentian program Pesbukers kepada managemen ANTV.
Olga dinilai melanggar Pasal 36 ayat 6 Undang-Undang RI No 32 tahun
2002 tentang Penyiaran. Di situ jelas dikatakan isi siaran dilarang
memperolok, merendahkan, melecehkan, dan mengabaikan nilai-nilai agama,
martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.
Dalam Pedoman Perilaku dan Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran
(SPS) 2012 dikatakan bahwa program siaran yang terbukti secara sah
melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi administratif. Sanksi itu
meliputi teguran tertulis, penghentian sementara, pembatasan durasi,
denda adminstratif, pembekuan kegiatan siaran, tidak diberi perpanjangan
izin penyelenggaraan penyiaran hingga pencabutan izin siaran.
Sayangnya, kasus Olga menjadi bola liar manakala para fanatik artis
yang mempunyai satu juta lebih follower itu bereakasi keras atas
keputusan KPI. Fans Olga mengancam melakukan pembunuhan terhadap anggota
KPI.
”Ancaman itu datang setelah kami mengeluarkan peringatan terhadap
program ëíPesbukersíí . Sorenya saya dapat telepon yang mengancam,
melalui akun Twitter juga,” cerita Ezki Suyanto, salah satu anggota KPI.
Padahal KPI yang telah melakukan tugasnya patut dihargai dan didukung
oleh semua pihak. Setidaknya dari peristiwa yang dialami Olga dapat
memberikan pelajaran bagi siapa saja bahwa dalam menghibur orang pun
harus taat dengan norma.
Pelanggaran norma dalam acara televisi atau radio memang menjadi
jangkauan pengawasan KPI. Tapi komisi ini tidak bekerja sendiri. Dalam
Sosialisasi P3SPS 2012 di Hotel Pandanaran, Selasa (4/6) Ketua KPID Jawa
Tengah, Budi Sudaryanto mengajak seluruh masyarakat untuk turut
memantau penyiaran di Indonesia.
Timbulnya kesadaran bersama dari seluruh lapisan masyarakat terhadap
program siaran yang melenceng akan membantu tugas KPI memantau acara
yang tayang di masyarakat. Aduan dapat masuk ke KPI melalui SMS,
telepon, dan email.
Salah satu sikap tegas KPI terlihat pada pencabutan izin acara Empat
Mata yang tayang di stasiun Trans 7 tahun 2008 silam. Acara yang waktu
itu juga meraih ratting tinggi terpaksa harus mandeg karena salah satu
episodenya menayangkan adegan yang tidak pantas.
Lantas, acara serupa muncul lagi dengan nama Bukan Empat Mata dengan
konsep, pembawa acara dan kemasan yang sama. Beberapa pihak
mempertanyakan bagaimana bisa acara yang sudah dicekal bisa disiarkan
kembali hanya dengan mengganti nama.
Budi Sudaryanto menjelaskan bahwa waktu itu peraturan tentang ini
belum dibahas secara detail dalam P3SPS. ”Tapi P3SPS yang terbaru yaitu
tahun 2012, sudah mengatur tentang itu,” katanya. Artinya, pencekalan
tidak terbatas pada nama acara tapi juga menyentuh konsep dan isi acara.
KPI sudah menjalankan tugasnya. Maka sudah sewajarnya jika kita
mengapresiasinya. Tapi kembali lagi, masyarakat juga turut berkontribusi
dalam melakukan pemantauan terhadap siaran televisi dan radio. Para
artis pun hendaknya cerdas dalam melempar lawakan. Harusnya mereka mampu
membuat orang tertawa tanpa menjadikan orang lain sebagai bahan
tertawaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar