Senin, 08 April 2013

Bola Bergulis di Layar Lebar




‘’Sepak bola itu adalah pemersatu bangsa. Sepak bola itu bikin bangga negara. Sepak bola itu adalah sesuatu yang besar di dunia ini, lebih besar dari program pengentasan kemiskinan sekali pun.’’
Begitulah sepak bola dalam pandangan seorang Edy Baskoro. Pria itu menaruh harapan tinggi kepada Timnas Indonesia. Tidak sekadar berjaya di Piala Dunia 2014, Edy percaya sepak bola Indonesia merupakan alat yang efektif memupuk rasa nasionalisme setiap orang.
Edy Baskoro yang diperankan oleh aktor Mathias Muchus adalah tokoh dalam film Hari Ini Pasti Menang (Gabriel Omar 8). Bersama tokoh-tokoh bernama Gabriel Omar (Zendhy Zaen), Dimas Bramantyo (Ray Sahetapy), Andien Zulaikha (Tika Putri), sang sutradara, Andibachtiar Yusuf sengaja menyuguhkan film yang mengajak penontonnya untuk berkhayal.
Bagaimana tidak, di tengah karut marut permasalahan sepak bola nasional, lolosnya Timnas ke Piala Dunia 2014 bak mimpi di siang bolong. Namun, sejatinya kehadiran film yang bakal dirilis 11 April mendatang  ini bukan menyoal tentang kekecewaan masyarakat terhadap Timnas. Andibachtiar tidak memaksa penonton harus mendapat pesan yang ia ingin sampaikan.
‘’Pengalaman setiap orang kan berbeda. Biar penonton yang menafsirkan sendiri,’’ katanya dalam sebuah wawancara dengan media daring.
Tapi jika film yang memakan biaya sekitar Rp 6 miliar ini mengangkat tentang idealisme dalam sepak bola, itu benar adanya. Bahkan tak hanya Hari Ini Pasti Menang (Gabriel Omar 8), film Indonesia bertemakan sepak bola pada dasarnya menyajikan unsur idealisme yang masih merupakan angan-angan di dunia nyata.
Salah satunya tentang semangat pantang menyerah. Perjalanan untuk menjadi seorang juara sejati adalah proses yang panjang dan melelahkan. Setidaknya, itu pesan yang selalu ada dalam beberapa film yang terinspirasi dari olah raga paling populer di Indonesia itu.
Sebut saja film Garuda di Dadaku yang mengisahkan perjuangan Bayu kecil untuk masuk ke dalam Tim Nasional U-13. Anak kelas VI SD itu mati-matian berlatih bola dengan cara kucing-kucingan karena tak mengantongi restu dari sang kakek.
Perjuangan yang nyaris sama juga ditunjukkan tokoh Wahyu (Yosie Kristanto) dalam Tendangan dari Langit yang rilis Agustus 2011. Awalnya Wahyu adalah bocah dari pedalaman Bromo yang mempunyai bakat alam bersepak bola yang belum tersentuh tangan profesinal. Lalu dilema demi dilema muncul seiring bertemunya Wahyu dengan pelatih Persema Malang secara tidak sengaja.
Ya, film-film tersebut memang mempunyai pola yang klise. Tapi sadarkah bahwa kecenderungan itu justru menjadi tanda bahwa insan film memiliki kepedulian terhadap nasib sepak bola kita.
Dengan film, mereka berbicara tentang impian masyarakat Indonesia mendapatkan sosok pahlawan lapangan hijau yang mampu membawa kiprah Tim Nasional ke tempat yang lebih baik.
 Berbagai Sisi
Besarnya kecintaan masyarakat terhadap olah raga permainan yang satu ini tidak disia-siakan oleh para sineas. Setidaknya sejak 2007 ada tujuh film Indonesia bertemakan sepak bola yang dibikin. Namun, tidak semuanya menyuguhkan cantiknya pertandingan di lapangan.
Film-film itu adalah The Jak (2007), The Conductors (2007)dan Romeo & Juliet (2009) adalah film yang terinspirasi dari kehidupan para suporter bola di tanah air. Ketiganya terlahir dari besutan Andibachtiar.
Dari film yang menyajikan sisi lain kehidupan para suporter bola, masyarakat dapat belajar betapa sekelompok penggila bola itu juga mempunyai hal yang menarik untuk dikulik. Di film Hari Ini Pasti Menang juga penonton tidak melulu melihat indahnya permainan-permaian heroik. Justru di film ini, pembuatnya sengaja menampilkan intrik perjudian dalam sepak bola.
Di luar negeri, film bola malah lebih beragam. Sebut saja trilogi film Goal yang mengisahkan perjalanan pemuda Meksiko dalam mengejar mimpinya menjadi pemain sepak bola profesional. Proses mengejar mimpi tersebut tergambar dalam Goal! The Dream Begins (2005), Goal! 2: Living the Dream (2007), dan Goal! Taking on the World (2009). 
Pada 2002, film Bend It Like Beckham pernah berjaya di bioskop dunia. Film yang mendokrak nama Keira Knightley itu mengisahkan anak perempuan yang mencintai sepak bola padahal sang ibu melarangnya. Meski tinggal di Inggris, Jesminder, si anak kecil itu, hidup dalam keluarga India yang kental dengan budaya asal. Tidak semata-mata bercerita tentang persepakbolaan Inggris, film ini menyuguhkan pesan tentang feminisme, rasisme, asmara, persahabatan bahkan homoseksual.
Jauh sebelumnya, di tahun 1988, adaThe Firm. Film yang dibintangi oleh Gary Oldman itu bercerita tentang kehidupan suporter fanatik sepak bola Inggris, hooligan. Film ini kemudian mengilhami film-film tentang hooligan lainnya seperti Football Factory dan Green Street Hooligans.
Ya, sepak bola memang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Itu pula yang menyebabkan beberapa pembuat film mengangkat sepak bola ke layar lebar. Sayangnya, di Indonesia, tidak banyak sineas yang tertarik membuat film bola.
Terbukti hanya ada nama Andibachtiar Yusuf. Dan memang film yang berlatar cerita olah raga memang tak seramai film cinta-cintaan, horor atau komedi. Banyaknya supporter bola tidak lantas membuat mereka juga berbondong-bondong pergi menonton film bola.  

Akting Selebritas di Lain Panggung




Dedy Mizwar belakangan punya kesibukan baru di luar dunia film. Kebulatan tekadnya untuk mendampingi Ahmad Heryawan maju dalam perebutan kursi jabatan Gubernur Jawa Barat, membuat pria 58 tahun itu rela berkampanye ke pelosok-pelosok Jabar.
Ya, aktivitas produser dan sutradara beberapa film itu jelas jauh berbeda dengan dunia seni peran. Jika selama ini Dedy dikenal masyarakat sebagai seorang yang tidak pernah kekeringan ide dalam berkarya melalui film, kini pria yang mengaku ingin membawa Jabar menjadi maju, mandiri dan sejahtera itu justru sedang gencar menyampaikan visi dan misi politiknya.
Tapi, kesungguhan Dedy Mizwar belum menjamin membawa dirinya dan pasangannya memenangkan Pilkada. Pasalnya, publik figur yang terlibat dalam Pilkada Jabar tidak hanya dia seorang. Ada nama artis Dede Yusuf yang menggandeng Lex Laksamana, dan artis Rieke Diah Pitaloka yang mengandeng Teten Masduki.
Meski masih ada dua pasangan lain yang berlatarbelakang bukan artis, masyarakat tetap menganggap Pilkada Jabar kali ini layaknya perang artis. Diakui atau tidak, baik Dedy, Dede, dan Rieke tidak bisa lepas dari embel-embel keartisannya walau telah berkomitmen total di kancah politik.
Tetap menjadi populer meski sudah tidak menjadi publik figur memang bukan menjadi kuasa sang artis. Masyarakatlah yang setia menganggap sang politisi itu dulunya adalah seorang yang wara-wiri di panggung hiburan.
Hal tersebut entah menjadi penghambat dalam karir politik mereka atau justru sebaliknya. Tapi kenyataannya, dalam beberapa survei independen yang diselenggarakan sebelum Pilkada, nomor-nomor yang memasang nama artis, menduduki tiga posisi teratas.
Bisa jadi, hal itu karena ketenaran mereka di mata publik berbanding lurus dengan jumlah perolehan suara. Terlepas dari program yang mereka beberkan, Pilkada Jabar membuktikan kalau masyarakat pemilih membutuhkan sosok calon pemimpin yang sudah mereka ketahui latar belakangnya.
Bukti lain tampak pada kemenangan Rano Karno yang berhasil menjadi Wakil Bupati Tangerang 2008-2013. Selebritas Dicky Chandra bersama Aceng Fikri memenangi pemilihan bupati-wakil bupati Garut 2008-2014. Sayangnya, di tengah masa jabatannya, Dicky memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai wakil bupati.      
Keputusan artis menjejaki wilayah politik tidak hanya terlihat pada Pilkada. Mereka juga menjajal kemampuan menjadi anggota legislatif dan DPR. Nama-nama seperti Tantowi Yahya, Eko Patrio, Inggrid Kansil, Wanda Hamidah, Nurul Arifin dan Angelina Sondakh telah lama mengabdi di Senayan.
Dipandang Sinis
Awalnya, keberadaan artis di panggung politik sempat di pandang sinis oleh beberapa pihak. Bagaimana tidak, artis yang banting setir menjadi politisi tidak semuanya mempunyai latar belakang politik yang mumpuni.
Sebagai artis yang terjun ke dunia politik, Tantowi Yahya menyadari, ada beberapa orientasi kawan sesama artis ingin berpolitik. ‘’Ada tiga hal artis ke parpol. Pertama, karena panggilan hati untuk mengbadi. Kedua, sekadar ikut-ikutan, dan yang ketiga karena mencari lahan pendapatan baru,’’ kata penyuka musik country itu.
Sadar dengan pandangan di masyarakat, Nurul Arifin berusaha menepis anggapan yang merugikan para artis itu. Wanita yang bertugas di Komisi II DPR RI itu membuktikan kalau pemain film pun mampu memberikan kontribusi kepada negara lewat politik.
 ‘’Saya masuk Golkar tak disambut dengan karpet merah seperti teman-teman artis lainnya, karena saya memulai semuanya dari nol di sebuah partai yang berpengalaman dengan kader-kader berkualitas,’’ terangnya.
Kecenderungan publik figur terjun ke dunia politik sebenarnya juga terjadi di luar negeri. Sebut saja Ronald Reagen dan Arnold Schwarzenegger di Amerika. Tapi bedanya, mereka sejak awal sudah aktif menjadi anggota partai politik dan terlibat dalam program-program kerja partai.
Sebelum menjadi Presiden AS ke 40 pada tahun 1981 sampai 1989, Reagen lebih dahulu aktif di Partai Demokrat lalu pindah ke Partai Republik. Aktor radio, film dan televisi itu sempat menjadi Gubernur California ke 33 dan wakil presiden Goerge H W Bush.
Sedangkan aktor laga Arnold Schwarzenegger mempunyai pandangan politik karena terbiasa bertetangan pandangan dengan beberapa bintang ternama Holywood. Ia terpilih menjadi Gubernur California pada 7 Oktober 2003. Arnold berhasil membuat maju laju pertumbuhan produk bruto meningkat menjadi 29 persen.
Di Cina, bintang film erotis, Peng Dan alias Diana Pang juga terjun ke dunia politik. Dia menjadi anggota Kongres Konsultatif Politik Rakyat Cina di Provinsi Gansu.’’Tidak ada konflik antara menjadi <I>fashionable<P> dan seksi dengan menjadi patriotik dan berpartisipasi dalam urusan negara,’’ katanya.
Ya, pada dasarnya artis terjun ke politik itu lumrah. Tapi hendaknya mereka tidak hanya bermodal keelokan wajah, materi dan popularitas. Untuk menduduki jabatan politis, seseorang harus mempunyai pengalaman di bidang politik, pemerintahan dan kemasyarakatan. Dengan begitu, masyarakat tidak memilih artis lantaran pelarian karena ketidaksukaan pada calon lain. (Otit)