Kemarin, 21 April, seperti yang sudah-sudah, kita merayakan Hari Kartini.
Seperti biasanya, sekolah-sekolah pada punya gawe deh. Macam-macam lomba seru
diadakan.
Yeah, euforia peringatan Hari Kartini sejak zaman dulu sampai sekarang emang nggak pernah pudar. Coba deh putar ingatanmu sampai ke zaman Sekolah Dasar (SD) dulu! Masih ingat nggak dengan kerempongan menyambut hari itu?
Pastinya beberapa dari kamu punya pengalaman seru memperingati hari kelahiran pahlawan asal Jepara itu. Di beberapa SD misalnya, ada yang mengemas 21 April dengan mengadakan karnaval keliling.
Masing-masing siswa kecil itu diwajibkan memerankan profesi yang dia sukai atau memakai baju adat daerah senusantara. Bisa bayangin nggak sih betapa lucunya para anak kecil pakai baju polisi, pilot, atau astronot? Apalagi anak cewek yang harus pakai jarit dan rambut digelung karena lagi memerankan Kartini kecil.
Indra Fariska (18) punya pengalaman didandani ketika dirinya masih imut-imut. "Waktu SD aku senang dirias dan memakai baju adat atau kebaya, terus lenggak-lenggok. Maklum naluri anak kecil, masih polos," kata mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Unnes itu sambil tertawa.
Itu acara di sekolah tingkat dasar. Di SMA beda lagi. Nggak jarang awak OSIS yang kreatif bikin acara-acara yang seru tapi nyeleneh. Katakanlah futsal pakai daster atau lomba merias tanpa kaca.
Dan pastinya lomba tingkat SMA yang punya nilai gengsi tinggi adalah pemilihan Kartini-Kartono sekolah. Hm, untuk lomba ini, pasti deh semua pengin mencoba. Karena selain membuktikan keeksisanmu, keberhasilan meraih gelar itu mau nggak mau bikin kamu kondang seantero sekolah. Sepakat?
Tapi eniwei, bicara soal peringatan Hari Kartini, pikiran kita pastinya nggak jauh-jauh dari kebaya ya? Kenapa bisa begitu? Lantaran foto-foto Kartini yang dipajang di dinding kelas selalu memakai kain kebaya?
Yups, Kartini bisa tampil anggun dan mempesona dengan kain kebayanya. Dari pakaian itu terpancar aura feminitas, kepribumian, dan nasionalisme. Tapi teman, masihkah kesan-kesan itu tetap ada sampai sekarang?
Kenyataannya, beberapa cewek zaman sekarang merasa rempong juga kalau harus memakai pakaian adat itu. Mereka lebih suka yang praktis-praktis saja. Nabila (19) salah satunya. Cewek tomboy itu lebih menomorsatukan kenyamanan dalam berpakaian dari pada harus tampil cantik tapi ribet.
"Ribet asal bisa cantik? Well, itu sih pendapat masing-masing ya. Soalnya aku orangnya tomboy, jadi memang nggak pernah mikir ribet buat cantik," kata mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Undip itu.
Emang sih, mengenakan kebaya itu lihat-lihat situasi dan kondisinya. Dan ini jadi bukti kalau kebaya mau nggak mau udah nggak bisa berfungsi sama seperti pada masa Kartini hidup.
"Tergantung sikon sih. Asal kebaya dipakai pada waktu tertentu, misal pas perayaan, ya nggak apa-apa. Tapi kalau buat aktivitas keseharian jelas rada nggak pas," ungkapnya lagi.
Nggak bisa dimungkiri, siapa saja yang memakai kain kebaya, otomatis jadi merasa anggun dan cantik kan? Monaliza Sekar Rani (18) juga sepakat dengan hal itu.
"Sebenarnya aku suka pakai kebaya. Jadi merasa anggun gitu. Apalagi memakai kebaya favorit yang kupilih sendiri model dan ukurannya," terangnya.
Tapi Monaliza menyadari kalau kebaya masih menjadi pakaian yang hanya dipakai saat acara tertentu. Nasib kebaya belum bisa sama seperti batik yang kini bersifat fleksibel untuk acara apapun.
'Seharusnya bisa tuh para desainer bikin terobosan tentang model atau gaya kebaya yang cocok dipakai untuk kegiatan sehari-hari," harap mahasiswa Jurusan Biologi Undip itu.
Lantas, gimana dengan perayaan Hari Kartini? Masih perlukah pakai kain kebaya? Hm, Monaliza punya cara sendiri menghargai jasa pahlawan pendidikan itu.
"Banyak hal yang bisa dilakukan anak perempuan sebagai generasi Kartini. Misalnya dengan menorehkan prestasi yang dapat menjunjung martabat perempuan dan melengserkan pandangan kalau perempuan cuma ada di balik punggung laki-laki."
Yippie, setuju banget deh sama pendapat Monaliza. Penghargaan buat Kartini jauh lebih berarti dengan menerapkan nilai-nilai emansipasi yang diajarkan kepada masyarakat. Dan lembaran kain kebaya cuma busana yang dipakai saat 21 April saja. Setelah itu, pengenanya boleh lepas selop, perhiasan, hiasan, sanggul, dan korset yang ketat lalu menghela nafas panjang. Kebaya boleh ditanggalkan, semangat perjuangan kudu tetap dikibarkan. Selamat Hari Kartini, Teman!
Yeah, euforia peringatan Hari Kartini sejak zaman dulu sampai sekarang emang nggak pernah pudar. Coba deh putar ingatanmu sampai ke zaman Sekolah Dasar (SD) dulu! Masih ingat nggak dengan kerempongan menyambut hari itu?
Pastinya beberapa dari kamu punya pengalaman seru memperingati hari kelahiran pahlawan asal Jepara itu. Di beberapa SD misalnya, ada yang mengemas 21 April dengan mengadakan karnaval keliling.
Masing-masing siswa kecil itu diwajibkan memerankan profesi yang dia sukai atau memakai baju adat daerah senusantara. Bisa bayangin nggak sih betapa lucunya para anak kecil pakai baju polisi, pilot, atau astronot? Apalagi anak cewek yang harus pakai jarit dan rambut digelung karena lagi memerankan Kartini kecil.
Indra Fariska (18) punya pengalaman didandani ketika dirinya masih imut-imut. "Waktu SD aku senang dirias dan memakai baju adat atau kebaya, terus lenggak-lenggok. Maklum naluri anak kecil, masih polos," kata mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Unnes itu sambil tertawa.
Itu acara di sekolah tingkat dasar. Di SMA beda lagi. Nggak jarang awak OSIS yang kreatif bikin acara-acara yang seru tapi nyeleneh. Katakanlah futsal pakai daster atau lomba merias tanpa kaca.
Dan pastinya lomba tingkat SMA yang punya nilai gengsi tinggi adalah pemilihan Kartini-Kartono sekolah. Hm, untuk lomba ini, pasti deh semua pengin mencoba. Karena selain membuktikan keeksisanmu, keberhasilan meraih gelar itu mau nggak mau bikin kamu kondang seantero sekolah. Sepakat?
Tapi eniwei, bicara soal peringatan Hari Kartini, pikiran kita pastinya nggak jauh-jauh dari kebaya ya? Kenapa bisa begitu? Lantaran foto-foto Kartini yang dipajang di dinding kelas selalu memakai kain kebaya?
Yups, Kartini bisa tampil anggun dan mempesona dengan kain kebayanya. Dari pakaian itu terpancar aura feminitas, kepribumian, dan nasionalisme. Tapi teman, masihkah kesan-kesan itu tetap ada sampai sekarang?
Kenyataannya, beberapa cewek zaman sekarang merasa rempong juga kalau harus memakai pakaian adat itu. Mereka lebih suka yang praktis-praktis saja. Nabila (19) salah satunya. Cewek tomboy itu lebih menomorsatukan kenyamanan dalam berpakaian dari pada harus tampil cantik tapi ribet.
"Ribet asal bisa cantik? Well, itu sih pendapat masing-masing ya. Soalnya aku orangnya tomboy, jadi memang nggak pernah mikir ribet buat cantik," kata mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Undip itu.
Emang sih, mengenakan kebaya itu lihat-lihat situasi dan kondisinya. Dan ini jadi bukti kalau kebaya mau nggak mau udah nggak bisa berfungsi sama seperti pada masa Kartini hidup.
"Tergantung sikon sih. Asal kebaya dipakai pada waktu tertentu, misal pas perayaan, ya nggak apa-apa. Tapi kalau buat aktivitas keseharian jelas rada nggak pas," ungkapnya lagi.
Nggak bisa dimungkiri, siapa saja yang memakai kain kebaya, otomatis jadi merasa anggun dan cantik kan? Monaliza Sekar Rani (18) juga sepakat dengan hal itu.
"Sebenarnya aku suka pakai kebaya. Jadi merasa anggun gitu. Apalagi memakai kebaya favorit yang kupilih sendiri model dan ukurannya," terangnya.
Tapi Monaliza menyadari kalau kebaya masih menjadi pakaian yang hanya dipakai saat acara tertentu. Nasib kebaya belum bisa sama seperti batik yang kini bersifat fleksibel untuk acara apapun.
'Seharusnya bisa tuh para desainer bikin terobosan tentang model atau gaya kebaya yang cocok dipakai untuk kegiatan sehari-hari," harap mahasiswa Jurusan Biologi Undip itu.
Lantas, gimana dengan perayaan Hari Kartini? Masih perlukah pakai kain kebaya? Hm, Monaliza punya cara sendiri menghargai jasa pahlawan pendidikan itu.
"Banyak hal yang bisa dilakukan anak perempuan sebagai generasi Kartini. Misalnya dengan menorehkan prestasi yang dapat menjunjung martabat perempuan dan melengserkan pandangan kalau perempuan cuma ada di balik punggung laki-laki."
Yippie, setuju banget deh sama pendapat Monaliza. Penghargaan buat Kartini jauh lebih berarti dengan menerapkan nilai-nilai emansipasi yang diajarkan kepada masyarakat. Dan lembaran kain kebaya cuma busana yang dipakai saat 21 April saja. Setelah itu, pengenanya boleh lepas selop, perhiasan, hiasan, sanggul, dan korset yang ketat lalu menghela nafas panjang. Kebaya boleh ditanggalkan, semangat perjuangan kudu tetap dikibarkan. Selamat Hari Kartini, Teman!