Kamis, 26 April 2012

Kartinian Nggak Harus Berkebaya, Kan?


Kemarin, 21 April, seperti yang sudah-sudah, kita merayakan Hari Kartini. Seperti biasanya, sekolah-sekolah pada punya gawe deh. Macam-macam lomba seru diadakan.

Yeah, euforia peringatan Hari Kartini sejak zaman dulu sampai sekarang emang nggak pernah pudar. Coba deh putar ingatanmu sampai ke zaman Sekolah Dasar (SD) dulu! Masih ingat nggak dengan kerempongan menyambut hari itu?

Pastinya beberapa dari kamu punya pengalaman seru memperingati hari kelahiran pahlawan asal Jepara itu. Di beberapa SD misalnya, ada yang mengemas 21 April dengan mengadakan karnaval keliling.

Masing-masing siswa kecil itu diwajibkan memerankan profesi yang dia sukai atau memakai baju adat daerah senusantara. Bisa bayangin nggak sih betapa lucunya para anak kecil pakai baju polisi, pilot, atau astronot? Apalagi anak cewek yang harus pakai jarit dan rambut digelung karena lagi memerankan Kartini kecil.

Indra Fariska (18) punya pengalaman didandani ketika dirinya masih imut-imut. "Waktu SD aku senang dirias dan memakai baju adat atau kebaya, terus lenggak-lenggok. Maklum naluri anak kecil, masih polos," kata mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Unnes itu sambil tertawa.

Itu acara di sekolah tingkat dasar. Di SMA beda lagi. Nggak jarang awak OSIS yang kreatif bikin acara-acara yang seru tapi nyeleneh. Katakanlah futsal pakai daster atau lomba merias tanpa kaca.

Dan pastinya lomba tingkat SMA yang punya nilai gengsi tinggi adalah pemilihan Kartini-Kartono sekolah. Hm, untuk lomba ini, pasti deh semua pengin mencoba. Karena selain membuktikan keeksisanmu, keberhasilan meraih gelar itu mau nggak mau bikin kamu kondang seantero sekolah. Sepakat?

Tapi eniwei, bicara soal peringatan Hari Kartini, pikiran kita pastinya nggak jauh-jauh dari kebaya ya? Kenapa bisa begitu? Lantaran foto-foto Kartini yang dipajang di dinding kelas selalu memakai kain kebaya?

Yups, Kartini bisa tampil anggun dan mempesona dengan kain kebayanya. Dari pakaian itu terpancar aura feminitas, kepribumian, dan nasionalisme. Tapi teman, masihkah kesan-kesan itu tetap ada sampai sekarang?

Kenyataannya, beberapa cewek zaman sekarang merasa rempong juga kalau harus memakai pakaian adat itu. Mereka lebih suka yang praktis-praktis saja. Nabila (19) salah satunya. Cewek tomboy itu lebih menomorsatukan kenyamanan dalam berpakaian dari pada harus tampil cantik tapi ribet.

"Ribet asal bisa cantik? Well, itu sih pendapat masing-masing ya. Soalnya aku orangnya tomboy, jadi memang nggak pernah mikir ribet buat cantik," kata mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Undip itu.

Emang sih, mengenakan kebaya itu lihat-lihat situasi dan kondisinya. Dan ini jadi bukti kalau kebaya mau nggak mau udah nggak bisa berfungsi sama seperti pada masa Kartini hidup.

"Tergantung sikon sih. Asal kebaya dipakai pada waktu tertentu, misal pas perayaan, ya nggak apa-apa. Tapi kalau buat aktivitas keseharian jelas rada nggak pas," ungkapnya lagi.

Nggak bisa dimungkiri, siapa saja yang memakai kain kebaya, otomatis jadi merasa anggun dan cantik kan? Monaliza Sekar Rani (18) juga sepakat dengan hal itu.

"Sebenarnya aku suka pakai kebaya. Jadi merasa anggun gitu. Apalagi memakai kebaya favorit yang kupilih sendiri model dan ukurannya," terangnya.

Tapi Monaliza menyadari kalau kebaya masih menjadi pakaian yang hanya dipakai saat acara tertentu. Nasib kebaya belum bisa sama seperti batik yang kini bersifat fleksibel untuk acara apapun.

'Seharusnya bisa tuh para desainer bikin terobosan tentang model atau gaya kebaya yang cocok dipakai untuk kegiatan sehari-hari," harap mahasiswa Jurusan Biologi Undip itu.

Lantas, gimana dengan perayaan Hari Kartini? Masih perlukah pakai kain kebaya? Hm, Monaliza punya cara sendiri menghargai jasa pahlawan pendidikan itu.

"Banyak hal yang bisa dilakukan anak perempuan sebagai generasi Kartini. Misalnya dengan menorehkan prestasi yang dapat menjunjung martabat perempuan dan melengserkan pandangan kalau perempuan cuma ada di balik punggung laki-laki."

Yippie, setuju banget deh sama pendapat Monaliza. Penghargaan buat Kartini jauh lebih berarti dengan menerapkan nilai-nilai emansipasi yang diajarkan kepada masyarakat. Dan lembaran kain kebaya cuma busana yang dipakai saat 21 April saja. Setelah itu, pengenanya boleh lepas selop, perhiasan, hiasan, sanggul, dan korset yang ketat lalu menghela nafas panjang. Kebaya boleh ditanggalkan, semangat perjuangan kudu tetap dikibarkan. Selamat Hari Kartini, Teman!

Sabtu, 14 April 2012

Mengidolakan Saritem Lagi


Perempuan desa penjual jamu muda nan ayu itu bernama Saritem. Rambut hitam panjangnya digelung sederhana. Jarit dan kebaya yang dikenakan pada tubuh singsetnya memberi kesan feminin ala perempuan Jawa. Sambil menggendong dunak jamu, Saritem melenggang kemayu, menawarkan jamu kepada semua orang.
SARITEM adalah tokoh rekaan yang hidup dalam film Saritem Penjual Jamu. Dibikin pada 1977, sutradara Syamsul Fuad sengaja menvisualisasikan sosok penjual jamu Indonesia di era itu. Cantik, langsing, ramah dan lugu menjadi karakter khas Saritem yang terinspirasi dari kenyataan yang ada pada kala itu.
Tapi tampaknya, menemukan “Saritem“ di masa sekarang tidak segampang dulu.
Kegiatan membeli jamu tiap sore dari penjaja jamu gendong perlahan mulai luntur.
Pilihan minum jamu agar hilang rasa pegal dan masuk angin atau sekadar menghangatkan badan pun mulai tak populer.
Masyarakat modern cenderung memilih obat-obatan di apotek untuk meredakan penyakit. Karena tidak hanya bereaksi lebih cepat, obat juga praktis dan harganya terjangkau. Masyarakat juga dihadapkan pada banyak pilihan obat penyembuh penyakit dari berbagai produsen.
Pergeseran dari jamu ke obat pun tak bisa dihindari. Di tengah gempuran obat, jamu jadi alternatif dan bukan yang utama.
Bahkan anak muda zaman sekarang mulai asing dengan minuman gubahan ramuan khas nusantara itu.
Alhasil, penjual jamu yang ada sekarang harus rela berjuang untuk bertahan agar tetap eksis. Para fanatiknya memang tidak akan begitu saja meninggalkan jamu.
Apalagi mereka yang mengakui benar khasiat jamu bagi kesehatan tubuh.
“Hampir setiap hari, saya minum jamu.
Untuk mengobati flu dan batuk.
Menghilang capai-capai, saya minum jamu pegal linu. Untuk permasalahan wanita, ya jamu sehat wanita,“ ujar Sri Andarini (50) yang kala itu sedang membeli jamu di kedai jamu bathok di Pasar Jati, Banyumanik.
Tidak hanya untuk dirinya sendiri, ibu rumah tangga itu pun menerapkan budaya minum jamu kepada keluarganya. Suami dan anak-anaknya seminimal mungkin mendatangi dokter. Bahkan untuk menyuguhi tamu yang berkunjung ke rumahnya, Sri tak segan-segan menyuguhkan jamu.
Ya, Sri memang punya alasan kenapa dirinya mempertahankan kebiasaan minum jamu kepada orang-orang terdekatnya.
Tidak ada efek samping karena alami menjadi alasan ibu yang tinggal di Banyumanik itu memilih jamu.
Alasan yang sama juga diungkapkan Didik (43). “Saya percaya dan merasa aman kalau minum jamu karena tidak mengandung bahan kimia,“ terang pria yang seharihari bekerja di perusahaan pengolahan kayu.
Bahkan Didik mendapatkan khasiat jamu sebagai pereda penyakit maag, asam urat, dan tipus. Penyakit tipus yang dideritanya, membuat pria ini tidak bisa begitu saja menyantap makanan pedas. Tapi berkat jamu, kini Didik tak perlu risau perutnya akan bereaksi jika mengonsumsi masakan pedas.
Ya, Sri dan Didik adalah salah satu konsumen setia jamu di Semarang. Jamu memang tidak ditinggalkan pembelinya.
Mereka yang mengandalkan khasiat jamu sebagai penyembuh, tentu saja akan membeli jamu lagi dan lagi. Tapi jumlah penggemar jamu tidak sebanyak dulu.
Kenyataannya, sebagian besar orang minum jamu sekadar sebagai minuman tambahan. Mereka juga tidak mengkonsumsi tiap hari, tetapi hanya sesekali dalam seminggu. Anang Susetyo (43) salah satunya. Warga Lamper Tengah yang waktu itu sedang membeli jamu jun “Wijoyo“ itu mengaku tidak biasa minum jamu. “Ini baru mencoba untuk yang pertama kali. Pas lewat ada penjual jamu, ya mampir saja,“ terangnya.
Pria paruh baya itu lebih senang mengistirahatkan badannya saat sakit ringan daripada mengkonsumsi obat atau jamu. Meski tidak biasa, Anang berharap, jamu yang diminumnya dapat mengurangi penyakit batuk yang sedang dideritanya.
Sedangkan Sumantri (58) beda lagi. Di sela-sela pekerjaannya, pria itu menyempatkan datang ke tenda jamu jun “Wijoyo“ untuk menikmati semangkuk jamu itu.
Sumantri bukanlah maniak jamu. Bahkan dirinya mengaku meyakini obat sebagai cara cepat menyembuhkan penyakitnya daripada jamu.
“Kalau sakit, saya langsung periksa ke dokter, minta resep dan beli obatnya.
Setelah minum obat, penyakit akan sembuh,“ tutur pria yang sempat bekerja di distributor sebuah perusahaan jamu besar di Semarang itu.
Ya, meski kesehariannya akrab dengan pendistribusian jamu, baginya jamu lebih kepada minuman tambahan yang berfungsi untuk menjaga kebugaran saat bekerja. Seperti yang dilakukannya saat itu, Sumantri berharap badannya kembali hangat dan segar setelah semangkuk jamu jun “Wijoyo“ habis diteguknya.
Sumantri berpendapat, orang-orang yang menganggap jamu sebagai obat sudah semakin berkurang. Apalagi di kota besar seperti Semarang. Tapi karena tujuh tahun Sumantri berkerja mendistribusikan jamu ke berbagai daerah, dirinya tahu kota yang penjualan jamunya masih tinggi.
“Kedai jamu di Kudus, Pati, Jepara masih sering dipenuhi pembeli. Mereka yang datang berharap akan sembuh dari penyakit, setelah minum jamu racikan yang diberikan beberapa ramuan tambahan. Tapi kedai jamu di Semarang, tidak seramai kedai jamu di kota-kota kecil.“
Beragam Cara Menurunnya pamor jamu di mata masyarakat otomatis berakibat semakin berkurangnya para penjual jamu. Cara menjajakannya pun tak perlu model “Saritem“ lagi. Botol-botol jamu yang dulunya digendong, kini dikelilingkan dengan menggunakan sepeda atau motor, tidak hanya oleh perempuan tetapi juga para pria.
Beberapa penjual jamu di Semarang yang sudah punya pelanggan setia malah tak perlu susah-susah keliling dari kompleks satu ke kompleks lain. Dengan mengandalkan kualitas, penjual jamu cukup duduk manis sambil menunggu calon pembeli datang.
Kris, penjual jamu bathok di Pasar Jati, Banyumanik misalnya. Ibu dua anak tersebut tiap hari sibuk melayani pembelinya yang datang dari dalam dan luar Semarang.
Sesuai namanya, jamu khas Yogyakarta racikan Kris memang disajikan di dalam bathok kelapa.
Pembeli yang datang ke kedainya, bakal melihat secara langsung Kris meramu, memeras, memasak dan menyajikan jamu.
“Kalau pembeli langsung tahu prosesnya kan jadi yakin dan mantap untuk minum jamunya,“ terang Kris yang merupakan penerus ketiga dari jamu bathok.
Serupa jamu bathok, jamu jun “Wijoyo“ juga diminati banyak orang. Racikan 18 rempah-rempah yang diletakkan di dalam jun (gentong dari tanah liat) itu dapat meredakan masuk angin, pegal linu, kembung, masalah kewanitaan dan lainnya.
Ya jamu yang diwariskan Kerajaan Demak sebagai minuman lokalitas budaya Jawa memang telah kehilangan masanya.
Tapi hal ini tidak berlaku bagi para penggemarnya, para penjualnya dan orang-orang yang meyakininya. (Otit)

Kamis, 05 April 2012

Bakso, Tak Ada Matinya


Meski udara siang terasa terik, Alief Ardiano Rambe (24) tetap saja menyambangi warung bakso langganannya di Jl Singosari Raya, Semarang. Seperti biasa, anak muda asli Jakarta itu memesan bakso isi keju dan bakso pedas. Semangkuk bakso yang datang ke hadapannya dilahap begitu saja tanpa menambah kecap dan saus.
"Biar terasa kuahnya yang gurih, mending nggak usah memakai tambahan apa-apa lagi," katanya.
Tak butuh banyak waktu, sepor si bakso pesanannya disantap hingga tandas. Setidaknya seminggu sekali, mahasiswa Fakultas Hukum Undip itu jajan ke kedai langganannya.
Awalnya Rambe bukanlah penggila bakso. Tapi sejak mengenal bakso isi keju dan bakso pedas yang cocok dengan lidahnya, pria humoris itu otomatis memasukkan bakso menjadi jajanan yang rutin dikonsumsi saat bosan melanda.
Berbeda dengan Rambe yang setia dengan satu warung, Indah Nur Fitariyanti (21) justru tertarik berpetualang dari warung bakso satu ke warung bakso lainnya. Tiap kali ada warung baru dan menawarkan menu unik, Indah, panggilan mahasiswa Unnes itu, tak segan-segan untuk mencoba.
''Biar tahu rasanya bagaimana. Pada dasarnya bakso itu kan memang segar apalagi kalau pedas. Nah, bakso yang diisi macam-macam itu untuk variasi saja.
Sebenarnya yang paling saya suka tetap bakso daging.'' Rambe dan Indah adalah dua dari sekian banyak orang yang gemar makan bakso. Ya, bakso memang menjadi makanan favorit masyarakat kita sejak dulu. Keberadaannya tidak tergusur oleh makanan lain yang lebih baru dan bervariasi. Penggemar bakso pun tak lantas terkotak-kotak oleh usia, kemampuan ekonomi, gender, dan lainnya. Semua orang menyukai bakso.
Tidak berlebihan jika kemudian bakso yang awalnya merupakan kuliner masyarakat Tionghoa itu menjadi budaya dan kuliner khas masyarakat kita. Itulah sebabnya penjual bakso kini gampang sekali ditemui.
Warung bakso yang kian menjamur pastinya bakal memanjakan para pencinta bakso. Tapi jika tempat satu dengan tempat yang lain tidak mempunyai sesuatu yang berbeda untuk ditawarkan, bisa jadi warung bakso itu tidak akan bertahan lama.
Penggemar bakso seperti Rambe dan Indah itu awalnya pasti hanya menjajal.
Tapi mereka akan kembali ke warung bakso tersebut bahkan sambil mengajak kawankawannya jika bakso itu enak dan tentu saja membuat ketagihan.
Nah, usaha para penjual bakso untuk menarik konsumen agar datang dan kembali lagi itulah yang kini makin bervariasi dan kreatif.
Tilik saja kedai bakso bernuansa hijau yang berdiri di kawasan Simpanglima Semarang bernama Bakso Kaget. Namanya saja sudah menggelitik dan memancing penasaran. Dengan tagline ''Tebak isi baksonya!, para pembeli akan dibuat penasaran dengan isi bakso yang dimakannya.
''Dalam tiap mangkuknya, pembeli akan mendapat beberapa butir bakso isi. Ada sembilan varian isi bakso, salah satunya isi lombok. Bakso isi lombok yang tidak bisa diketahui ciri-cirinya itu yang bakal bikin kaget orang yang memakannya,“ jelas Dean Ananda (25), pengelola kedai bakso tersebut.
Selain bakso dengan kuah rempah-rempah yang tidak mengandung monosodium glutamate (MSG), kejutan dari bakso berlombok itulah yang ditawarkan Dean kepada konsumen. Calon pembeli juga akan terhibur dengan konsep kerajaan bakso (kingdom of meatball) saat memasuki tenda bakso tersebut. Karakter-karakter bakso yang ìhidupî dituangkan dalam cerita komik yang diharapkan bakal menarik anak-anak.
Ciri khas lain dari usaha waralaba asal Bandung itu adalah adanya menu bakso bakar dan bakso celup. Bakso bakar adalah olahan bakso yang dipanggang dengan bumbu bakar dan disiram saus aneka pilihan. Sedangkan bakso celup merupakan inovasi dalam hal kemasan agar mudah dibawa saat bepergian.
Dean berharap kedai baksonya menjadi tempat yang asyik untuk nongkrong sambil menikmati sensasi bakso yang mengejutkan itu. Apalagi lokasinya mudah dijangkau dan berada di pusat kota Semarang.
Memanjakan pencinta bakso dengan varian rasa juga dilakukan oleh kedai Bakso Mania yang buka di Jalan Singosari Raya, Semarang. Kedai yang menawarkan bakso isi keju, sosis, sumsum, telur puyuh, brokoli dan bakso pedas itu menjadi alternatif untuk mereka yang bosan dengan bola daging biasa.
Usaha menjual bakso dipilih oleh Rega Dianzha Yudha (28), pemilik kedai Bakso Mania, karena dirinya menyadari bisnis di bidang kuliner terutama bakso itu sangat menjanjikan. Tapi untuk membedakan warungnya dengan warung bakso lainnya, Rega terlebih dulu melakukan survei dan coba-coba hingga akhirnya mencipta bakso aneka isi tersebut.
“Bakso itu makanan paling merakyat. Tapi saat menjualnya, kami harus kreatif karena yang jualan bakso sudah sangat banyak,“ terangnya.
Dan memang benar, bakso aneka isi biki nan Rega yang buka dua bulan lalu dige mari tidak hanya anak muda tapi juga orang dewasa. Di awal pembukaannya, Rega sem pat woro-woro usahanya itu via jejaring sosial. Pemasaran dengan jalur tersebut cukup membantu memperkenalkan produk baksonya itu.
Inovasi Bentuk Kreativitas mengolah bakso tidak terbatas pada variasi isian bakso. Dolly Andrian F (40) punya cara yang beda untuk menggaet para pelanggannya. Pemilik resto bakso i Menara Semarang itu melawan kelaziman k kalau bakso itu selalu berbentuk bulat.
Setelah melakukan beberapa kali per cobaan, akhirnya Dolly memutuskan untuk fokus memproduksi bakso berbentuk kotak.
Tujuannya sudah pasti memancing penasaran para calon pelanggannya.
“Kami juga memperhatikan rasa dan kualitas daging, sehingga pembeli tidak datang sekali saja tapi selalu datang lagi dan lagi,“ terang pria penggila kuliner itu.
Dolly mengaku konsistensi rasa memang sangat penting untuk membuat pelanggan tetap setia pada bakso kotaknya. Bertempat di menara Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) lantai 18, Dolly membidik para wisatawan yang datang ke sana.
Melalui restorannya, para pembelinya bisa menyantap bakso kotak sambil menatap pemandangan Kota Semarang dari atas menara.
Bentuk bakso yang tak lumrah juga bisa dijumpai di tenda bakso Indra yang buka di depan IKIP PGRI, Semarang. Si penjual bakso, Rahayu, menawarkan bakso gepeng dengan aneka pilihan, seperti bakso gepeng bakwan, bakso gepeng siomay usus dan bakso gepeng campur.
Bakso gepeng ini sudah ada sejak puluhan tahun lalu di Semarang. “Mungkin dulu tujuannya biar tidak sama dengan bakso yang lain. Lama-lama jadi ciri khas bakso kami,“ ujar Rahayu, penerus kedua kedai bakso Indra.
Ada beragam cara para penjaja bakso memperoleh pelanggannya. Intinya mereka ingin berbeda dengan penjaja bakso lainnya.
Kekhasan yang mereka tawarkan itulah yang mendatangkan pelanggan setia. Bakso yang punya keunikan memang mudah dilirik mengingat penjual bakso sangat banyak dan tersebar di mana-mana. Ya, bakso memang tak ada matinya. (Otit)