Perempuan desa penjual jamu muda nan ayu itu bernama Saritem. Rambut hitam panjangnya digelung sederhana. Jarit dan kebaya yang dikenakan pada tubuh singsetnya memberi kesan feminin ala perempuan Jawa. Sambil menggendong dunak jamu, Saritem melenggang kemayu, menawarkan jamu kepada semua orang.
SARITEM adalah tokoh rekaan yang hidup dalam film Saritem Penjual Jamu. Dibikin pada 1977, sutradara Syamsul Fuad sengaja menvisualisasikan sosok penjual jamu Indonesia di era itu. Cantik, langsing, ramah dan lugu menjadi karakter khas Saritem yang terinspirasi dari kenyataan yang ada pada kala itu.
Tapi tampaknya, menemukan “Saritem“ di masa sekarang tidak segampang dulu.
Kegiatan membeli jamu tiap sore dari penjaja jamu gendong perlahan mulai luntur.
Pilihan minum jamu agar hilang rasa pegal dan masuk angin atau sekadar menghangatkan badan pun mulai tak populer.
Kegiatan membeli jamu tiap sore dari penjaja jamu gendong perlahan mulai luntur.
Pilihan minum jamu agar hilang rasa pegal dan masuk angin atau sekadar menghangatkan badan pun mulai tak populer.
Masyarakat modern cenderung memilih obat-obatan di apotek untuk meredakan penyakit. Karena tidak hanya bereaksi lebih cepat, obat juga praktis dan harganya terjangkau. Masyarakat juga dihadapkan pada banyak pilihan obat penyembuh penyakit dari berbagai produsen.
Pergeseran dari jamu ke obat pun tak bisa dihindari. Di tengah gempuran obat, jamu jadi alternatif dan bukan yang utama.
Bahkan anak muda zaman sekarang mulai asing dengan minuman gubahan ramuan khas nusantara itu.
Bahkan anak muda zaman sekarang mulai asing dengan minuman gubahan ramuan khas nusantara itu.
Alhasil, penjual jamu yang ada sekarang harus rela berjuang untuk bertahan agar tetap eksis. Para fanatiknya memang tidak akan begitu saja meninggalkan jamu.
Apalagi mereka yang mengakui benar khasiat jamu bagi kesehatan tubuh.
Apalagi mereka yang mengakui benar khasiat jamu bagi kesehatan tubuh.
“Hampir setiap hari, saya minum jamu.
Untuk mengobati flu dan batuk.
Menghilang capai-capai, saya minum jamu pegal linu. Untuk permasalahan wanita, ya jamu sehat wanita,“ ujar Sri Andarini (50) yang kala itu sedang membeli jamu di kedai jamu bathok di Pasar Jati, Banyumanik.
Untuk mengobati flu dan batuk.
Menghilang capai-capai, saya minum jamu pegal linu. Untuk permasalahan wanita, ya jamu sehat wanita,“ ujar Sri Andarini (50) yang kala itu sedang membeli jamu di kedai jamu bathok di Pasar Jati, Banyumanik.
Tidak hanya untuk dirinya sendiri, ibu rumah tangga itu pun menerapkan budaya minum jamu kepada keluarganya. Suami dan anak-anaknya seminimal mungkin mendatangi dokter. Bahkan untuk menyuguhi tamu yang berkunjung ke rumahnya, Sri tak segan-segan menyuguhkan jamu.
Ya, Sri memang punya alasan kenapa dirinya mempertahankan kebiasaan minum jamu kepada orang-orang terdekatnya.
Tidak ada efek samping karena alami menjadi alasan ibu yang tinggal di Banyumanik itu memilih jamu.
Tidak ada efek samping karena alami menjadi alasan ibu yang tinggal di Banyumanik itu memilih jamu.
Alasan yang sama juga diungkapkan Didik (43). “Saya percaya dan merasa aman kalau minum jamu karena tidak mengandung bahan kimia,“ terang pria yang seharihari bekerja di perusahaan pengolahan kayu.
Bahkan Didik mendapatkan khasiat jamu sebagai pereda penyakit maag, asam urat, dan tipus. Penyakit tipus yang dideritanya, membuat pria ini tidak bisa begitu saja menyantap makanan pedas. Tapi berkat jamu, kini Didik tak perlu risau perutnya akan bereaksi jika mengonsumsi masakan pedas.
Ya, Sri dan Didik adalah salah satu konsumen setia jamu di Semarang. Jamu memang tidak ditinggalkan pembelinya.
Mereka yang mengandalkan khasiat jamu sebagai penyembuh, tentu saja akan membeli jamu lagi dan lagi. Tapi jumlah penggemar jamu tidak sebanyak dulu.
Mereka yang mengandalkan khasiat jamu sebagai penyembuh, tentu saja akan membeli jamu lagi dan lagi. Tapi jumlah penggemar jamu tidak sebanyak dulu.
Kenyataannya, sebagian besar orang minum jamu sekadar sebagai minuman tambahan. Mereka juga tidak mengkonsumsi tiap hari, tetapi hanya sesekali dalam seminggu. Anang Susetyo (43) salah satunya. Warga Lamper Tengah yang waktu itu sedang membeli jamu jun “Wijoyo“ itu mengaku tidak biasa minum jamu. “Ini baru mencoba untuk yang pertama kali. Pas lewat ada penjual jamu, ya mampir saja,“ terangnya.
Pria paruh baya itu lebih senang mengistirahatkan badannya saat sakit ringan daripada mengkonsumsi obat atau jamu. Meski tidak biasa, Anang berharap, jamu yang diminumnya dapat mengurangi penyakit batuk yang sedang dideritanya.
Sedangkan Sumantri (58) beda lagi. Di sela-sela pekerjaannya, pria itu menyempatkan datang ke tenda jamu jun “Wijoyo“ untuk menikmati semangkuk jamu itu.
Sumantri bukanlah maniak jamu. Bahkan dirinya mengaku meyakini obat sebagai cara cepat menyembuhkan penyakitnya daripada jamu.
Sumantri bukanlah maniak jamu. Bahkan dirinya mengaku meyakini obat sebagai cara cepat menyembuhkan penyakitnya daripada jamu.
“Kalau sakit, saya langsung periksa ke dokter, minta resep dan beli obatnya.
Setelah minum obat, penyakit akan sembuh,“ tutur pria yang sempat bekerja di distributor sebuah perusahaan jamu besar di Semarang itu.
Setelah minum obat, penyakit akan sembuh,“ tutur pria yang sempat bekerja di distributor sebuah perusahaan jamu besar di Semarang itu.
Ya, meski kesehariannya akrab dengan pendistribusian jamu, baginya jamu lebih kepada minuman tambahan yang berfungsi untuk menjaga kebugaran saat bekerja. Seperti yang dilakukannya saat itu, Sumantri berharap badannya kembali hangat dan segar setelah semangkuk jamu jun “Wijoyo“ habis diteguknya.
Sumantri berpendapat, orang-orang yang menganggap jamu sebagai obat sudah semakin berkurang. Apalagi di kota besar seperti Semarang. Tapi karena tujuh tahun Sumantri berkerja mendistribusikan jamu ke berbagai daerah, dirinya tahu kota yang penjualan jamunya masih tinggi.
“Kedai jamu di Kudus, Pati, Jepara masih sering dipenuhi pembeli. Mereka yang datang berharap akan sembuh dari penyakit, setelah minum jamu racikan yang diberikan beberapa ramuan tambahan. Tapi kedai jamu di Semarang, tidak seramai kedai jamu di kota-kota kecil.“
Beragam Cara Menurunnya pamor jamu di mata masyarakat otomatis berakibat semakin berkurangnya para penjual jamu. Cara menjajakannya pun tak perlu model “Saritem“ lagi. Botol-botol jamu yang dulunya digendong, kini dikelilingkan dengan menggunakan sepeda atau motor, tidak hanya oleh perempuan tetapi juga para pria.
Beberapa penjual jamu di Semarang yang sudah punya pelanggan setia malah tak perlu susah-susah keliling dari kompleks satu ke kompleks lain. Dengan mengandalkan kualitas, penjual jamu cukup duduk manis sambil menunggu calon pembeli datang.
Kris, penjual jamu bathok di Pasar Jati, Banyumanik misalnya. Ibu dua anak tersebut tiap hari sibuk melayani pembelinya yang datang dari dalam dan luar Semarang.
Sesuai namanya, jamu khas Yogyakarta racikan Kris memang disajikan di dalam bathok kelapa.
Sesuai namanya, jamu khas Yogyakarta racikan Kris memang disajikan di dalam bathok kelapa.
Pembeli yang datang ke kedainya, bakal melihat secara langsung Kris meramu, memeras, memasak dan menyajikan jamu.
“Kalau pembeli langsung tahu prosesnya kan jadi yakin dan mantap untuk minum jamunya,“ terang Kris yang merupakan penerus ketiga dari jamu bathok.
“Kalau pembeli langsung tahu prosesnya kan jadi yakin dan mantap untuk minum jamunya,“ terang Kris yang merupakan penerus ketiga dari jamu bathok.
Serupa jamu bathok, jamu jun “Wijoyo“ juga diminati banyak orang. Racikan 18 rempah-rempah yang diletakkan di dalam jun (gentong dari tanah liat) itu dapat meredakan masuk angin, pegal linu, kembung, masalah kewanitaan dan lainnya.
Ya jamu yang diwariskan Kerajaan Demak sebagai minuman lokalitas budaya Jawa memang telah kehilangan masanya.
Tapi hal ini tidak berlaku bagi para penggemarnya, para penjualnya dan orang-orang yang meyakininya. (Otit)
Tapi hal ini tidak berlaku bagi para penggemarnya, para penjualnya dan orang-orang yang meyakininya. (Otit)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar